Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit
dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai
pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan,
Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo),
AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten.
Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground
sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70-
an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal
Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras
dengan gaya yang lebih ..liar’ dan ..ekstrem’ untuk ukuran jamannya.
Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut
di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band
luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath,
Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang
kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El
Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock
(Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah
yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia,
Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda
sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style
musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band-
band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus,
Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota-
kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya,
Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre
musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali
tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat
itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub,
sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong,
anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub,
diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu
biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan
kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.
Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx
(Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura),
Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator),
Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien
Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya
banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of
Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau
adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie,
vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded
di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan
Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya
gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker
Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.
Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola
tradisi ..sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara
mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single
pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah
satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman
dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan
rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia.
Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal
adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio
tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka
punya program bernama Rock N’ Rhythm yang
mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio
ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal
Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992.
Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita
rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan
Majalah Vista.
Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini
sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di
daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu
sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu
Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga
Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting
sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis
Getah dan juga
mantan vokalis Rotor.
Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering
dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio
latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band
rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub,
venue alternatif tempat band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air
di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas
seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh
band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya
adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia
(Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong)
hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).
Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia,
Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar
bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama
setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed
metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah
label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed
metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh
Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari
berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album
thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th
Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan
honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para
personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri
Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling
telat dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album ..The Head Sucker’.
Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.
Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air,
mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk
scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta
sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar
awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah
resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out
adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional,
barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran
konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok
Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.
Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre
yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore,
black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin
mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh,
Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor,
Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak
pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis
mini album secara independen di Jakarta dengan judul ..It’s A Proud To
Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M,
Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani
album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).
Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground
pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit
24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma,
Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system
operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed
kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara
penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula
band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga
empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah
profesional dengan cover
penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga
tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format
e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya
lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine,
Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.
29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi
perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah
digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara
bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada
malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie
baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya
scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000
sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta
dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight
Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet,
Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV,
Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus
Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang ..kenyang’
manggung di sana.
10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama-
lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di
sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa
punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan
unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya
Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue
alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di
Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM
2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit
De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop.
Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk
acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot,
seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By
Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling
..netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di
basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13
Januari 2002 silam, Puppen ..menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah
konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah
rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari
Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh
dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal.
Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal
kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan
dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan
selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah
musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala
The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini
kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene
british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka
sempat merilis album debut bertitel ..…Jang Doeloe’. Generasi awal dari
scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel,
Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.
Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989
sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap
memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex
Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker
Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di
Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris
Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri
yang bertitel ..Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997)
secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan
musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat
merilis rekaman.
Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The
Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited.
Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The
Idiots merilis album debut mereka yang bertitel ..Living Comfort In
Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-
komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an
tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas
South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading,
Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M
hingga SID Gank di Rawamangun.
Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah
album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang
rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against
Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album
kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud
(Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots,
Cryptical Death hingga Out Of Control.
Bandung scene
Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang
menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio
Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini
digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika
semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset,
poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain
distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang
rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel
“Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di
kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To
The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band
asal Jakarta.
Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara
lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah
sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara
independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P”
ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind
yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah
(alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah
stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo
rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya.
Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di
kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya
ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors
yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang
dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang
hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu,
Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian
menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini
kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal
yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah
komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas
Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang
banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad,
Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic
Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada
awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama
Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang
memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine
tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas
band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.
Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas,
Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan
Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur
Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara
Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar.
Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus
eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga
scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop
atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga
yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska
yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti
Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.
Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung
pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai
pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung
keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di
..baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah
Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa
rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung
Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong
spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai
diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin
ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini
di Indonesia untuk ukuran rock show underground.
Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia,
Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan
cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda
seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan
menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca
juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia
yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music
Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley
(RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman
sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi
band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas,
Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal
hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star
(www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini
memang nggak ada matinya!
Scene Jogjakarta
Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota
ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di
Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal
underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder.
Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah
Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg.
Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band
metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal
Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.
Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal
1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence,
Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank
Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang
patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop
sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah
terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy
Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur
konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga
pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang
pertama di Indonesia. Parkinsound 3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli
2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not,
Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.
Scene Surabaya
Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin
tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death
metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya
berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI – Red)
dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry,
Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.
Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk
mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari
organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana
sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu
dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band
Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP
– Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya
scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya
sekitar 7-10 band saja.
Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser
underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal
karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin
jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada
akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya
ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak
tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.
Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen,
divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album
milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album
milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid
Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The
Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery
of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah
underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album
milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.
Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground
Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas
45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga
telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black
metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah
konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di
Surabaya kala itu.
Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang
sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black
metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY
OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda
dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak
ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997
digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat
sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25
band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan
ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal
asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.
Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak
didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death
metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event
musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul.
Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya
seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.
Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO
178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR.
Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini
tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie
label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara
underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO
178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II
hingga BLUEKHUTUQ LIVE.
Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera
INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System
Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal
komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali
terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan
tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang
sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black
metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses
penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya
yang terbaru hingga kini.
Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan
informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang
terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format
fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai
aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya
saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih
banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah
mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang
apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam
fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS
Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.
Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10
rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama
label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178
Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The
Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk
berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal
death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir
(kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel
“Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan
menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan
September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini
sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes
200 keping tanpa sisa.
Scene Malang
Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari
Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas”
sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C)
yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock
underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri
dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar
di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk
Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC
pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang
seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat
(death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga
band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).
Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain
Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse.
Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death
metal di Indonesia. Album debut mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di
Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid
dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah
menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah
ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua
kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995.
Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di
band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir
yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di
Malang adalah Confused Records
Scene Bali
Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan
komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas
1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara
lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede
adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha
distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death
metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di
sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik
metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.
Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan
sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober
1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total
Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil
diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple
Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar
Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal,
Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser
ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang
menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara
adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band
punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music
Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya
adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.
Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan
S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha
lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band
..putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik
ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan
beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy
(The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta.
Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an?
Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi
besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang
terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin
luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak
bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend
indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga
menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang
berguna puluhan tahun ke depan.
Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom ..indie’ dan
bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-
mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai
istilah ..indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang
memandang istilah ..underground’ semakin bias karena kenyataannya kian
hari semakin banyak band-band underground yang ..sell-out’, entah itu
dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis
atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara
sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih
..elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang
tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis,
istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media
massa nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks ..underground’ itu tadi.
Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau
indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai-
ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh
Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian
established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan
polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain
musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi
..panglima’ sekarang ini.